Fenomena Ponari dan Batu Ajaib  

Selasa, Februari 24, 2009

Fenomena Ponari yang memunculkan pro dan kontra terus menggelinding. Namun di balik itu, munculnya Ponari telah menjadi berkah tersendiri bagi banyak orang.


KETIKA masuk sebuah gang ke arah barat, sekitar 300 meter dari lokasi tempat praktik Ponari, tak ubahnya seperti bazar. Di kanan kiri jalan Dusun yang baru saja dipaving itu, terdapat macam-macam jajanan. Hampir di setiap depan rumah, ada warung dadakan yang berdiri. Mayoritas menyediakan menu sederhana.

Seperti teh, kopi, dan mi instan. Tetapi ada pula pedagang makanan yang sengaja datang untuk mendirikan stan di depan rumah penduduk. Tentu saja ramainya pengunjung di lokasi Ponari menjadi daya tarik tersendiri. ''Sejak pertama kali ramai dikunjungi orang, saya sudah berjualan di sini," ujar Wiwin, 30, warga setempat yang medirikan warung tenda di tikungan terakhir menuju ke terop antrean pengunjung.

Meski terkesan ala kadarnya, tetapi penghasilan yang didapat Wiwin cukup luar biasa. Dalam keadaan sepi pun, semisal saat praktik Ponari ditutup, ia bisa meraup keuntungan sampai Rp 200 ribu sehari. Pengakuan Wiwin bukan mustahil.

Karena meskipun libur praktik, tempat itu tidak pernah sepi pengunjung. Dagangannya pun tidak terlalu mahal. Untuk teh atau kopi hanya seharga Rp 1.500. Sedangkan mi instan sebagai makanan ''darurat", hanya seharga Rp 3.000. Apabila kondisi ramai, keuntungan wanita yang bekerja sebagai buruh tani ini bisa berlipat ganda. ''Pernah di saat ramai saya mendapatkan sampai Rp 500 ribu sehari," ungkapnya sedikit berbisik kepada Radar Mojokerto.

Tak hanya itu, para pedagang keliling pun hampir setiap saat berseliweran. Antara lain pedagang nasi bungkus, minuman, air mineral, hingga buku yang berisi profil Ponari. Sasaran utama mereka adalah orang-orang yang sudah ''terjebak" antrean.

Ketika berada di antrean, pengunjung sudah kesulitan untuk bergerak. Apalagi keluar antrean hanya untuk sekadar membeli makan atau minum. Sehingga dengan mondar-mandir di sekitar antrean, dagangan pun bisa laku keras.

Namun, hal ini sering dimanfaatkan para pedagang dengan tidak simpatik. Seperti menjual jauh di atas harga normalnya. Seperti yang dilakukan Tarno, 40, yang menjual minuman suplemen seharga Rp 5 ribu. Padahal harga normalnya tidak sampai Rp 3 ribu. ''Kalau tidak mau kembalikan saja Mas," cetus Tarno ketika Radar Mojokerto mencoba menawar.

Karena bisa dikatakan sebagai ''surga'' bagi pedagang, tak sedikit anak-anak ikut berjualan di tempat itu. Entah atas inisiatif sendiri, atau memang dikondisikan oleh orang tua mereka.

Salah satunya Rizki, 10, bocah kelas IV SD yang berjualan buku Ponari. Ia mengaku ikut-ikutan temannya untuk berjualan buku seharga Rp 5 ribu yang memang sangat laris itu. Karena pada hari Minggu, ia sedang tidak ada kegiatan untuk mengisi liburan. Pada siang hari, ia mengaku sudah menjual sepuluh buku. Namun ia mengaku tidak tahu, berapa keuntungan yang didapatkannya dengan menjual kesepuluh buku tersebut.

Begitu pula dengan Indah, 12, warga setempat. Bocah kelas VI SD ini dengan semangat menjajakan air mineral. Dengan kaki belepotan lumpur, ia terus berteriak-teriak menjajakan dagangannya kepada para pengantre. Ia mengaku disuruh orang tuanya untuk ikut berjualan.

Jika hari biasa, ia hanya membantu berjualan pada sore hari. Tapi pada Minggu kemarin, ia full berjualan mulai pagi hingga sore hari. Saking semangatnya, Indah sudah tidak memedulikan hujan. ''Saya senang berjualan seperti ini, karena mendapat tambahan uang saku untuk jajan," ujarnya dalam kondisi basah kuyup karena hujan.

AddThis Social Bookmark Button